Ahad, 17
Februari 2019, menjelang tengah malam, akhirnya aku menginjakkan kaki di
Taiwan.
Alhamdulillah, lelah perjalanan selama kurang lebih 14 jam sejak
kami meninggalkan rumah, tebayar sudah. Antara rasa percaya dan tidak percaya,
akhirnya aku sampai di negeri tempat suami menimba ilmu. Beberapa jam yang lalu,
saat kami transit di Kuala Lumpur International Airport (KLIA), aku masih
merasakan semua hal berjalan seperti biasa. Orang-orang dengan perawakan sama,
dimana perempuannya banyak yang berjilbab, membuatku merasa seperti di negeri
sendiri, Indonesia. Fakta bahwa Indonesia dan Malaysia merupakan bangsa
serumpun, membuat interaksi dengan uncle-uncle penjual makanan di bandara pun berjalan
mulus tanpa masalah. Namun saat memasuki gate keberangkatan, aku mulai merasakan hal berbeda. Ada semacam
perasaan kurang percaya diri di antara orang-orang “asing” ini. Orang-orang
yang secara perawakan berbeda, berpenampilan berbeda, dan berbahasa berbeda. Ada
rasa khawatir terbersit di benakku, tentang pandangan orang-orang “asing” tersebut
mengenai jilbab, selembar kain penutup kepala yang menjadi identitasku sebagai seorang
muslim.
Kurang lebih empat jam lamanya, pesawat rute KLIA – Taoyuan
International Airport, yang kami tumpangi tiba di Taoyuan International Airport.
rasanya orang-orang yang berasal dari berbagai negara ada di sini, hal ini
membuatku semakin merasa asing. Perbedaan kulit, perawakan, bahasa, penampilan,
membuatku merasa semakin kurang percaya diri. Tidak tahu kenapa, aku merasa
mereka lebih “wah”. Aku seperti orang udik yang baru pertama kali ke kota, 😊. Kali ini aku baru benar-benar
merasakan bahwa ternyata, dunia tidak hanya pulau Jawa, 😅. Kata Mas, “Jadi merasa menjadi
bagian dari masyarakat dunia nggak sih?”. Iya.
Ini baru
awalan. Semoga ke depan aku segera bisa menyesuaikan diri dan bisa lebih
percaya diri.
Melewati pemeriksaan Imigrasi, kami menuju pengambilan
bagasi. Sudah sepi sekali di sana, tinggal beberapa koper saja. Kami memang
mengantri cukup lama di imigrasi, sekitar satu jam, yaitu dari jam sebelas
sampai jam 12 malam waktu Taiwan. Sebenarnya Mas bisa mengantri di bagian
residen karena Mas sudah punya ARC. Tapi karena aku belum punya ARC, belum
terhitung residen, Mas menemaniku mengantri di bagian non-residen. Saat
pemeriksaan visa, kata petugas imigrasi ke Mas, “Seharusnya kamu bisa antri di
bagian residen, dan kamu bisa mengajak istrimu juga kesana”. Yah, sudah terlanjur, 😏.
Keluar dari bandara, kami menuju loket penjualan tiket bus,
untuk membeli tiket bus ke Taichung. Saya merasakan udara yang lebih dingin di luar
dibandingkan di dalam bandara. Awalnya saya kira karena waktu itu dini hari,
kalau sudah pagi atau siang, mungkin suhu udaranya tidak sedingin ini.
Sampai di Taichung, ternyata mau pagi, siang,
sore, suhu udaranya sama dinginnya. Saat kaki menyentuh lantai rasanya nyess,
dingiiiin. Jadinya setiap hari saya memakai baju panjang dan sweater. Hari
pertama di Taichung, saya merasa tenggorokan sakit, kepala sedikit pusing,
badan juga sakit. Besoknya, badan saya panas dong, 😞. Jadi, pekan pertama di Taiwan saya habiskan
dengan istirahat di kamar saja, pemulihan. Capek perjalanan jauh ditambah suhu
udara yang berbeda dengan di Indonesia, yang mungkin menyebabkan saya demam.
Rencana jalan-jalan sesampainya di Taiwan jadi harus tertunda deh, 😁.
0 komentar